bunglon face
2 min readSep 23, 2023

Kaki ku melangkah menapaki trotoar yang penuh dengan pedagang kaki lima. Sesekali aku berjalan di atas aspal jika bangku-bangku memenuhi ujung trotoar. Bukan hal yang biasa dariku berjalan malam-malam. Aku hanya keluar saat aku memiliki alasan.

Aku tidak terlalu ingin menceritakan alasan utamaku, karena sebenarnya alasan utama tidak terlalu penting. Hanya jalan keluar dari kekesalan. Tujuan keduaku lebih menarik, yaitu membeli dimsum yang dulu pernah dibelikan oleh kakak tingkat sekaligus tetangga kos-ku.

Mengingat hal itu, aku yang sedari tadi tidak mendengar suara bising dari kamarnya memutuskan untuk mengirim pesan, "kak, balik ke Banten?".

Aku berniat untuk membelikannya sekotak kecil dimsum karena saat itu dia mentraktirku. Tapi sesampainya aku di sana, aku tidak menemukan pemandangan gerobak yang familiar, melainkan sebuah halaman kosong. Aku melongok ke atas langit, di sisi atas tembok ada banner bertuliskan "Dimsum". Aku tidak salah tempat.

Akhirnya, dengan tangan kosong–tidak sepenuhnya kosong sih, tanganku sudah membawa si alasan pertama–aku kembali lagi ke kos. Dengan langkah cepat karena aku ingin segera berleha-leha sambil makan malam.

Setiap aku berjalan kaki sendirian, aku selalu berbicara sendiri. Perjalanan pulangku ditemani dengan monolog, menceritakan banyak hal yang terlintas di kepalaku. Sesaat aku melihat sebuah gerobak gorengan, kemudian aku menepuk dahiku. Aku teringat sekotak tempe mendoan yang minggu lalu ku beli dengan Ibu. Aku jadi merasa bersalah karena melupakannya selama seminggu ini.

Aku terkekeh kecil, "Itulah kenapa tukang dimsumnya tutup!"

Sesampainya di kos, aku segera membuka kulkas, mencari harta karun itu. Aku cukup kaget karena tidak ada kantong plastik hitam di tempat aku menaruhnya seminggu yang lalu. Tapi, aku yakin tidak mungkin dibuang karena anak kos tidak akan berani. Ternyata, tempatnya berpindah agak dalam. Kuambil dan segera ku goreng ulang agar bisa ku nikmati lagi.

Kini, aku sedang memakan tempe mendoan itu. Syukurlah masih enak. Aku memakannya sambil tersenyum. Teringat beberapa kenangan saat aku memakan tempe ini bersama Ibu. Saat aku menumpahkan sambal kecap di meja, atau saat kita mencari berbagai cara untuk membungkusnya karena tidak disediakan kantong plastik.

Aku menghela nafas, berkat kenangan di tempe mendoan, rasanya aku ingin kembali ke saat itu.

Aku rindu senyummu.

No responses yet